BEJABOGOR.COM — Keterbukaan informasi publik merupakan pilar utama dalam upaya mewujudkan penegakan hukum yang transparan dan akuntabel. Namun, di Kabupaten Bogor, situasi ini tampaknya mulai mengalami kemunduran. Sejumlah organisasi kontrol sosial, termasuk media, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan organisasi masyarakat (Ormas), semakin sulit menjalin komunikasi dengan Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Bogor.
Kajari Kabupaten Bogor, di bawah kepemimpinan Irwanuddin Tadjuddin, dianggap semakin tertutup, dengan berbagai upaya untuk melakukan audiensi melalui telepon, pesan WhatsApp, maupun surat resmi tak kunjung mendapat tanggapan. Fenomena ini berbeda jauh dengan kepemimpinan Kajari sebelumnya, yang dinilai lebih terbuka dan menjalin komunikasi yang baik dengan berbagai elemen kontrol sosial.
Ketua DPC JPKPN Kabupaten Bogor, Rizwan Riswanto, mengkritik keras sikap tertutup ini. Menurutnya, sikap seperti ini tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan yang seharusnya dipegang teguh oleh seorang pemimpin lembaga penegakan hukum.
“Ini aneh tapi nyata. Tidak seperti Kajari-Kajari sebelumnya yang selalu menjaga hubungan baik dengan kami. Sekarang, komunikasi kami dengan Irwanuddin Tadjuddin seolah terputus, baik melalui telepon, WhatsApp, bahkan surat resmi tidak ditanggapi,” ujar Rizwan Riswanto.
Sebagai pemimpin lembaga penegakan hukum di tingkat kabupaten, Irwanuddin Tadjuddin diharapkan mampu menegakkan hukum dengan prinsip keadilan yang berlandaskan fakta, bukti, dan peraturan yang berlaku, serta tanpa adanya kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Prinsip equality before the law yang menempatkan semua orang setara di hadapan hukum harus tetap diutamakan.
Lebih lanjut, Rizwan menegaskan bahwa sebagai seorang Adiyaksa, Kajari seharusnya memahami pentingnya keterbukaan dalam proses penegakan hukum. Transparansi dalam penanganan kasus, penyelidikan, dan keputusan hukum adalah bagian integral dari integritas kejaksaan. Hubungan yang baik dengan media, LSM, dan Ormas adalah salah satu cara untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut.
“Kajari seharusnya menyadari bahwa sebagai pelayan publik, ia memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan yang baik, responsif, dan tepat waktu kepada masyarakat. Ketertutupan atau kurangnya komunikasi hanya akan merusak kepercayaan publik dan melemahkan fungsi kontrol sosial yang sangat penting dalam demokrasi kita,” tambah Rizwan.
Tidak hanya itu, ia juga menyoroti pentingnya integritas bagi seorang Kajari. Keputusan hukum yang diambil harus didasarkan pada profesionalisme dan sesuai dengan kode etik kejaksaan. Keterbukaan dan kolaborasi dengan lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga sangat diperlukan untuk menangani kasus-kasus besar, terutama korupsi.
Kritik ini muncul seiring dengan meningkatnya kecurigaan di kalangan masyarakat Kabupaten Bogor terhadap Kajari yang dinilai tertutup. Ketiadaan komunikasi antara Kajari dengan elemen kontrol sosial bukan hanya menghambat akses informasi yang akurat, tetapi juga mengurangi transparansi yang selama ini dijunjung tinggi oleh pemerintah.
Keberadaan kontrol sosial sangat krusial dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang. Jika Kajari terus menutup diri dari kontrol sosial, dikhawatirkan pengawasan publik terhadap penegakan hukum akan terganggu, yang pada akhirnya bisa mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi kejaksaan.
Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari Kajari Kabupaten Bogor terkait alasan di balik ketertutupan ini. Masyarakat Kabupaten Bogor berharap agar Kajari segera mengambil langkah konkret untuk memperbaiki hubungan dengan elemen kontrol sosial dan mengembalikan keterbukaan sebagai prinsip utama penegakan hukum.